Saya ditempatkan di sebuah desa di Kabupaten Cilacap, Desa Ujungggagak. Disana, saya diberi kesempatan untuk hidup menjadi seorang petani. Bersama Pak Bana dan Bu Odah, saya mencari tahu bagaimana kehidupan seorang petani desa, yang hidup dalam harmoni antarwarga dan kesederhanaan.
Waktu itu hari Senin. Pak Bana dengan Bu Odah menjemput saya dari rumah Bapak Dedi, salah satu warga sukses di desa itu. Awal perjumpaan terasa benar canggung diantara kami. Saat itulah, saya merasa rugi, karena saya seharusnya dapat memanfaatkan kemampuan berbahasa “Ngapak” saya di daerah ini. Tetapi, Waktu demi waktu berlalu, saya semakin dekat dengan mereka. Saya senang, meskipun kami biasanya tidak banyak mengobrol, saya dapat merasakan cinta mereka terhadap saya lewat perhatian yang saya terima. Ada juga hal menarik tentang desa ini. Hampir seluruh desa merupakan petani. Mereka hidup dalam toleransi yang sangat luar biasa, jarang ditemukan di kehidupan kota. Rasanya masing-masing warga disini sangat dekat, dan sangat pengertian. Mereka juga sering berbagi hasil panen mereka dengan warga sekitar. Sunggih, rasa persaudaraan desa ini sangat kuat.
Soal bertani ternyata bukan hal yang dapat dilukiskan dengan omongan dan tulisan. Saya harus bekerja setiap hari, 7 jam, baik panas maupun hujan, harus tetap bekerja demi menumbuhkan padi hingga menguning. Teriknya panas matahari, dan dinginnya hujan angin barat sudah saya lalui. Rasanya tertusuk cangkang keong saat menanam bibit padi, lelahnya mencangkul, dan susahnya akses menuju ke sawah—jalan bebatuan yang tajam, menyebrang sungai, –menjadikan pekerjaan ini sangat-sangat tidak sebanding dengan hasilnya. Saya merasakan, petani yang menumbuhkan padi dengan kualitas bagus, harus makan dari sisasias beras yang tidak terjual karena kualitasnya yang jelek. Prihatin.